Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UU SP”), serikat pekerja/serikat buruh -yang diwakili oleh pengurusnya selaku legal mandatory-, berhak:
a. membuat PKB (bersama-sama) dengan pengusaha (pengurus perusahaan);
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaiakan perselisihan hubungan industrial;
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga-(lembaga)ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan hak-hak dimaksud, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 25 ayat (2) UU SP). Dalam kaitannya dengan ketentuan tersebut, ada azas (principle) dalam peraturan perundang-undangan, khususnya Pasal 93 ayat (1) dan (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), bahwa pada dasarnya upah tidak dibayar jika pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan (prinsip no work no pay).
Namun prinsip no work no pay tersebut dapat disimpangi, dalam arti tetap dibayar upah, dalam hal (antara lain) “pekerja/buruh melaksanakan tugasserikat atas persetujuan -management- pengusaha” (vide Pasal 93 ayat (2) huruf h UU Ketenagakerjaan). Akan tetapi syarat dan ketentuan mengenai pelaksanaan tugas serikat tersebut (termasuk pada huruf h), harus -telah- ditetapkan dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan(PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB).
Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, menurut hemat saya pada dasarnya memang perusahaan tidak boleh menghalang-halangi pengurus “serikat” melaksanakan tugas kepengurusan secara proporsional. Namun demikian pelaksanaannya harus tetap mendapat persetujuan dari -management– pengusaha (jika akan melaksanakan tugas kepengurusan “serikat”).
Dalam kaitan permasalahan Saudara yang berkenaan dengan “punishment” pemotongan upah dalam pelaksanakan kegiatan ke-serikat-an, kemungkinan karena Saudara belum memperoleh persetujuan atau bahkan mungkin tidak mendapatkan izin, sehingga dianggap sebagai “mangkir” dan berlaku azas “no work no pay”.
Dapatkah dibenarkan? Hemat saya, bisa saja dibenarkan sepanjang ada ketentuan yang disimpangi -terutama dalam hal izin / persetujuan manajemen-.
Tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh pekerja/buruh atas perlakuan pengusaha tersebut, adalah melakukan dialog atau komunikasi. Lebih baik lagi jika dilakukan melalui LKS Bipartit (jika telah terbentuk), sehingga semua bisa diselesaikan secara cool melalui komunikasi dan dialog yangintens.
Dasar Hukum: